Papa, akankah engkau masih
menyimpan foto masa kecilku di dompetmu?
Mama, bilakah kau kan mengenang
anakmu yang teracuh ini saat bersama kekasih barumu?
Papa, mama.
Aku capek, maafkan aku
Aku ingin menjerit seperti wanita
Atau lari laksana kijang
Apapun tak masalah, telat sudah.
Betapa bodoh nya anakmu ini.
Maaf.
Hari abu abu selalu lengket
layaknya lem di otakku. Aku tak tahu, monster apa yang menguasai kalian tempo
itu. Monster bernama uang? Memori itu memang tertancap telak di ingatanku. Saat
aku menjejak lorong baru pulang sekolah, piring piring terhempas menyisakan suara
pecahan. Alas, kakiku yang waktu itu sangat pendek dan kecil gemetar sampai
terbetot, muka kalian sangat seram hari itu. Aku membuka pintu dengan takut
takut. Lalu ada jeritan. Ada tangisan. Dari papa dan mama.
Kalian kini seperti tom and jerry
yang kulihat di film film kartun. Namun kalian benar benar menyakiti satu sama
lain.
Papa, mama. Aku...
Kalian tak peduli denganku, anak
kalian yang menonton piring dan gelas itu terlempar, dan teriakan menggema
sedemikian rupa piawainya. Betapa rumitnya perasaan aku. Apa kalian mengerti...
Kepalaku terasa ikut mau pecah juga. Air mataku tak sadar berlabuh turun ke
daguku.
Tiba tiba dadaku berdarah di
dalam. Kupegang detak iramanya. Kenapa berdarah? Karena sakit. Sakit. Sakit.
Sakit. Sakit sekali. Sebagai anak aku sakit. Tak punya perumpamaan bagus untuk
mengutarakan sanubari ku saat itu. Satu patah frasa untuk mewangsitkan seluruh
rasa yang meracuni hati,
Sakit.
Lalu kata ‘cerai’ meluncur bak
air mancur di sekolahku. Entah dari mulut siapa dulu. Aku masih lugu. Aku hanya
anak mama dan papa.
Belum lah paham arti sebuah
perceraian.
Belum lah siap untuk merasa kasih
sayang tak kesampaian.
Namun suratan takdir telah
menggariskan nasib. Tak seorangpun bisa mengelak. Kalian berpisah tanpa
mempedulikanku. Lalu tak pernah bertemuku lagi.
Saat itulah aku baru paham arti
perceraian sebagai seorang anak kecil. Artinya adalah ‘hancur’. Karena tak ada
lagi yang tersisa dari keluarga ini.
Aku menggigil di ujung jalan
kecil. Di sini bau sekali, bau yang sama di wc wc umum. Tapi ini rumah—sarang
baruku. Aku tidur, bernyanyi, buang air di sini. Banyak lalat dan air di sini
rasanya sungguh buruk.
Jujur saja, kadang aku benci
kalian. Sangat benci. Sampai uratan tangan menegang semua. Aku gatal ingin
menusuk daging dan jantung papa dan mama. Teganya, kalian melakukan ini padaku?
Pada darah daging kalian?
Tapi papa mama. Aku juga sayang
kalian. Aku cinta kalian, kalian adalah bunga paling harum dan indah di hatiku.
Kalian jugalah matahariku yang paling terang. Tapi aku sedih. Apa papa mama tau
aku cinta kalian berdua? Maafkan aku, anak bodoh ini, selalu membuat kalian
repot. Papa mama pasti pikir aku tak sayang dengan kalian.
Tolonglah, kalau kalian bisa
bersatu, aku akan melakukan apaaaaa saja. Aku akan jadi anak rajin, aku akan
menyapu nyapu halaman rumah seperti yang mama inginkan, aku tak akan rewel, aku
tak akan menangis lagi karena tersandung batu layaknya yang papa suruh.
Aku janji. Asal kita bisa
berkumpul penuh kedamaian dan kehangatan. Cuma itu yang ku minta, pa, ma...
namun... kenapa kalian tidak mengabulkannya? Hatiku sangat sesak ketika
mengingat wajah kalian, tawa kalian, sentuhan kalian, pelukan kalian. Bahkan
aku rindu dimarahi oleh papa dan mama, berharap kita bisa mengulanginya untuk
yang paling terakhir kali.
Sebelum aku melilit dan
mengencangkan tali tambang ini di leherku.
Catatan: Ain
posted by Mhyron Thapshec at
09.47
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home