Antara Khayalan Dan kenyataan Dalam Hidup Menuju Kehidupan

Kamis, 18 Juni 2009

kisah kasih seorang pelacur mencari cinta

Kisah kasih seorang pelacur mencari cinta


You have many lovers, and yet I alone love you. Other men love themselves in your nearness. I love you in yourself. Other men see a beauty in you that shall fade away sooner than their own years. But I see in you a beauty that shall fade away, and in the autumn of your days that beauty shall not be afraid to gaze at itself in the mirror, and it shall not be offended. I alone love the unseen in you.”

Begitulah kutipan ucapan Yesus pada Maria Magdalena hasil kontemplasi Khalil Gibran dalam bukunya Jesus, The Son of Man. Maria Magdalena menyadari selama ini ia tidak pernah memperoleh cinta sejati dari seorang lelaki. Semua lelaki yang pernah tidur dengannya tidak sungguh mencintainya. Mereka hanya hendak memuaskan nafsu birahinya pada Maria. Semenjak pertemuan itulah Maria Magdalena, pelacur kelas kakap di Yerusalem, terbuka matanya, menyadari kehinaan hidupnya dan bertobat. Dalam pribadi Yesus, ia menemukan cinta sejati, yang tidak pernah ia temukan dalam diri laki-laki lain dalam hidupnya.

Senada dengan kisah itu, Dorothea mewujudkan dengan keharuan yang sama dalam puisinya: Nikah Pelacur Tak Punya Tubuh. Dalam puisinya ini, ia menghadirkan seorang pelacur yang sedang meratapi profesinya sebagai pelacur. Pelacur ini -senasib dengan Maria Magdalena- merasa bahwa selama ini tak ada seorang lelaki pun yang sungguh-sungguh mencintainya. Kini pelacur ini haus akan cinta, bukan cinta yang sekedar diumbar selama ia melayani para konsumennya, melainkan cinta sejati yang ia temukan hanya pada pribadi Yesus. Bagi pelacur itu, Yesus adalah sang Cinta Sejati.

Hakekat Cinta dan Hubungan Seksual
Selayaknya, mobil yang bisa berfungsi kalau ada bensin dan accu sebagai sumber tenaganya, manusia pun memiliki sumber tenaga sehingga bisa berfungsi dengan baik. Cinta adalah sumber tenaga manusia. Ahli psikoanalisis, Sigmund Freud menyebutnya dengan libido. Sayangnya, Freud hanya membatasinya dalam fungsi kelamin (hubungan seksual). Tenaga seksual itu sebenarnya tidak hanya sesempit itu. Ia juga meliputi rasa cinta, belas kasih, lembut hati, keberanian, rela berkorban demi orang lain, berhubungan dengan orang lain dan Tuhan. Philomena Agudo dalam bukunya Aku Memilih Engkau menyatakan bahwa kekuatan seksual memiliki dua pesan penting:
• “Rasailah kegembiraan dan kepuasan dalam cinta, lembut hati dalam kemurnian dan penyerahan diri.”
• “Rasakanlah kesenangan dalam pengalaman daging lewat alat kelamin.”
Keduanya pesan ini berinteraksi satu sama lain dan saling melengkapi. Jadi, hubungan seksual pun merupakan ungkapan cinta yang sakral dan tidak main-main. Pelacuran adalah salah satu deviasi sosial di mana nilai kesakralan hubungan seksual dirusak. Benang merah antara cinta dan hubungan seksual diputus.

Hubungan seksual bagi seorang pelacur adalah menu sehari-hari. Bagi mereka, baik yang melakukan tindakan asusila ini karena terpaksa atau karena keinginan sendiri, hubungan seksual hanyalah semata-mata alat untuk mendapatkan uang (dan tidak menutup kemungkinan, juga demi memenuhi hasrat birahi). Hal ini mengakibatkan adanya degradasi penghayatan hubungan seksual dalam diri para pelacur.

Sebuah analogi semoga dapat membantu. Para djeuness d’ore yang amat konsumtif, tidak memahami sulitnya mencari uang. Pasalnya, orang tua mereka terus menghibahkan gajinya yang tinggi bagi mereka. Saking mudahnya mengeluarkan uang untuk beli ini-itu tanpa harus kesulitan untuk mendapatkannya kembali, mereka menjadi tidak memahami prinsip-prinsip hidup yang hemat. Dalam kasus ini, para pelacur juga mengalami situasi yang senada. Mereka sudah terlampau sering melakukan hubungan seksual tanpa di dasari rasa cinta di mana nilai sakral hubungan seksual luntur. Pria-pria pelanggannya, sama dengan kontemplasi di awal permenungan ini, hanyalah memberikan cinta gombal yang didasarkan atas keinginan berhubungan seksual dengan si pelacur.

Untunglah, seperti yang digambarkan puisi ini, para pelacur itu tidak kehilangan kodratnya sebagai wanita. Sebagai wanita, mereka memiliki perasaan yang lebih dalam daripada pria, terutama masalah cinta. Akan ada titik puncak di mana seorang pelacur... atau lebih baik saya katakan... seorang wanita yang melacur merasakan kejenuhan. Setiap hari mereka selalu melayani (beberapa) pria yang ingin memuaskan nafsu birahinya semata-mata tanpa disertai rasa cinta .

Kodrat wanita menuntunnya pada suatu pertanyaan dan refleksi tentang kehidupan yang dijalaninya selama ini: diwarnai oleh pria-pria yang tidak mencintainya namun berhubungan seksual dengannya. Ia pun pada akhirnya memahami bahwa selama ini, pria-pria pelanggannya itu hanya mencintainya fisiknya.

Saat Pelacur Mencari Cinta Sejati
Dalam kondisi yang rumit semacam itu, muncullah kerinduan akan cinta yang sejati. Bukan hanya kata-kata cinta gombal yang umumnya keluar dari para pelanggannya yang hanya hendak memanfaatkan fisik pelacur itu demi memuaskan nafsu birahinya. Ia merindukan seseorang yang akan memberikannya cinta secara seutuhnya, bukan hanya karena kecantikan fisik, tapi terutama karena inner beauty seorang wanita.
Dalam puisi ini, terasa betul bahwa pelacur ini melihat Yesus sebagai Sang Cinta Sejati. Pada bait yang pertama dan kedua, ia menyatakan pengalamannya bersama dengan Yesus, mengkontemplasikan Yesus membawanya ke Golgota, tempat yang awalnya merupakan wujud kekalahan namun, sebenarnya merupakan wujud kemenangan. Di bait kedua, pelacur itu mengungkapkan kesulitannya dalam mencari Sang Cinta Sejati itu.

Pada bait ke tiga dan keempat, pelacur itu merefleksikan kehinaan dirinya. Ia menggambarkan hidupnya dengan mengenaskan. Ia melihat hidupnya dengan hina.
Bait kelima tampak sebagai puncak dari puisi ini. Sang pelacur berteriak dengan lantang, menyatakan kerinduannya akan cinta yang sejati. Namun, dalam kalimat terakhirnya ia menyatakan tapi bukan surga! Ada nada bahwa pelacur ini menghendaki semata-mata cinta sejati dari Yesus saja, tidak perlu lebih dari itu.

Selanjutnya, pada bait ke enam dan ketujuh, nada ratapan pelacur itu kembali merendah. Kali ini, ia merasa tidak pantas mendapatkan cinta yang sejati, apalagi setelah melihat kenyataan kehidupannya. Puisi ini ditutup oleh nada pesimistik.

Memasuki Alam Keharuan
Puisi ini terasa hidup. Ratapan pelacur itu tampak dinamis, dari bait ke bait. Apalagi, dengan tema kisah kasih sang pelacur yang mencari cinta ini, pembaca pun akan terhanyut dalam suatu keharuan.

Puisi ini hendak memberikan sentakan bahwa bagaimanapun juga pandangan negatif dan hina masyarakat terhadap profesi pelacur, para pelacur ini pun masih seorang wanita. Dan, ia memiliki kerinduan terhadap cinta yang sejati, yang selama ini tidak ia dapatkan dalam hidupnya. Cinta yang mencintainya bukan hanya karena fisiknya, tapi lebih-lebih pribadinya secara keseluruhan. Jadi, pada dasarnya, ia pun memahami bahwa cinta tidaklah sesempit berhubungan seksual.

Puisi ini adalah serangkaian kisah kasih seorang pelacur yang mencari cinta, cinta yang sejati. Yesus adalah Cinta Sejati baginya. Dia sungguh merindukan adanya cinta sejati. Namun, ia pun selalu terbentur pada perasaan-perasaan bahwa dirinya hina, membuatnya merasa tidak pantas memperoleh cinta sejati pada Yesus. Sayang, padahal, seperti yang dikontemplasikan Khalil Gibran, Yesus pun menyatakan cinta sejati-Nya pada Maria Magdalena. Yesus mencintai Maria Magdalena karena pribadinya, bukan karena kecantikan fisiknya. “I alone love the unseen in you.”


“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati
ia tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri;
ia tidak sombong,
ia tidak melakukan yang tidak sopan.
Cinta itu tidak mencari keuntungan sendiri,
ia tidak pemarah,
dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan,
tapi karena kebenaran.
Citna itu mencukupi segala sesuatu,
percaya segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu,
sabar menanggung segala sesuatu.
Kasih itu tidak berkesudahan...
Kejarlah kasih itu...”


“Kau bawa aku ke bukit asing
pengembaraan matahari
yang menyebar harum keringat golgota,
kematian dan
kebangkitan: ekstatse dari perjalanan
abjad dan kitab.”

“Yesus, Kaupetakan nikmat pencarian
dan ziarah.
Perjalanan berabad di antara doa dan
mazmur tak
diucapkan. Kucari Peta dan kubaca arah
yang mengabur
di telapak tangan dan sabda nabi-nabi.”

“Aku cuma palacur yang tak punya
surga. Kubawa tubuh
kemana-mana. Kutawarkan geliat
kekosongan dan
dongeng-dongeng cinta. Dalam sebait
nafas dan keringat.
Serigala yang melolong, dendam malam
di antara gigil
ketakutan hewan-hewan liar.”

“Aku membawa hati di antara
kekosongan cinta yang
amat kusut. Kutawarkan kepada semua
lelaki.
Yang melukis angin di matanya.”

“Yesus, beri aku kenikmatan cinta yang
asing
beri aku ledakan-ledakan dan derak
ranjang yang asing.
Beri aku segala yang tak dipunyai lelaki.
Tapi bukan surga!”

“Aku merangkak di bukit-bukit entah apa.
Segala habis
di antara kekosongan angin dan
kata-kata. Di antara suara
gumam para pembaca ayat-ayat malaikat
dan lonceng-lonceng
berkelenengan. Aku cuma pelacur yang
enggan mencari pintu
dan derak bangku-bangku di antara doa.
Aku cuma pelcur yang
menawar-nawarkan dosa, tapi kusimpan
di antara ayat-ayat yang tak pernah
dibaca, yang mencari ladang
dan membajak bukit-bukit, menanam
keringat dan gemetar.
Luka yang tumbuh jadi kebun mawar.”

Label:

posted by Mhyron Thapshec at 08.59

1 Comments:

bagustuh cerita

3 Januari 2011 pukul 08.20  

Posting Komentar

<< Home