Antara Khayalan Dan kenyataan Dalam Hidup Menuju Kehidupan

Jumat, 04 September 2009

Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate

Ternate cuma merupakan kota kecil yang terletak di lereng gunung Gamalama. Keliling gunung ini cuma 42 km. Radiusnya tak lebih dari 10 km. Kendati demikian, dengan populasi 120.000 jiwa ini, Ternate termasuk kota paling ramai di Maluku sesudah Ambon. Karena itu, sejak Maluku Utara menjadi propinsi tersendiri pada Oktober 1999, Ternate terpilih sebagai ibukotanya. Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang terdiri dari 353 pulau, dengan luas daratan 32.000 km persegi,serta di atas perairan seluas 107.382 km persegi. Wilayah ini di bagian utaranya berbatasan dengan Samudra Pasifik, selatan dengan Laut Seram, timur dengan Laut Halmahera, dan barat dengan Pulau Sulawesi.(1)

Kendati kecil, Ternate pernah memainkan peran penting di kawasan Timur Nusantara dari abad ke-13 sampai abad ke-17. Sebagai kerajaan primus interpares dari kerajaan-kerajaan Islam di Maluku —bersama kerajaan Tidore, Bacan, dan Jailolo, wilayah kekuasaan Ternate pada era Sultan Baabullah (1570-1583) pernah membentang dari Mindanao (sekarang bagian dari Filipina) di utara sampai Bima di selatan. Ke barat meliputi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara.(2)

Mayoritas penduduk Ternate menganut Islam Sunni. Namun tak bisa dipungkiri, terdapat pula sejumlah praktik keagamaan yang berakar dari tradisi Syi’ah. Dalam hal ini, Syi’ah memiliki arti kelompok, partai, atau pengikut. Kata ini merujuk pada pengikut Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama Ahl al-Bait. Kecuali masalah imamah, antara kaum Syi’ah dan Ahl Sunnah Wal Jama’ah hampir tak terdapat perbedaan. Tak diketahui siapa dan kapan praktik-praktik Syi’ah ini, seperti ta’ziah dan perayaan ‘asyura, masuk ke sana. Artikel ini mencoba menelusuri jejaknya berdasarkan catatan sejarah dan pengalaman sendiri sebagai orang Ternate. Kajian ini tentu saja belum memadai, tapi mudah-mudahan berguna sebagai langkah awal menuju penelitian lanjutan yang lebih komprehensif.


Umumnya disepakati bahwa proses Islamisasi di Nusantara berlangsung seiring dengan kegiatan dagang antara berbagai komunitas yang mendiami pulau-pulau di Indonesia dengan orang Arab, Persia, Gujarat, dan Cina. Ini telah berlangsung sejak berabad-abad lalu.(3) Prof L.W.C. van den Berg menyatakan, kepulauan Indonesia telah didatangi orang Arab dari Teluk Persia dan Laut Merah sebelum zaman Islam. Tapi Nusantara baru mencapai puncak keramaian pada zaman Kerajaan Bani Abbas (sekitar 800-1300 M). Jalur perdagangan yang ditempuh waktu itu adalah Teluk Persia, Cina , dan Indonesia.(4) G.R. Tibbets mengatakan, pada abad VIII dan IX terdapat laporan pedagang Arab Muslim yang menunjukkan adanya rute pelayaran yang pasti melalui pelabuhan laut Asia Tenggara, terus bersambung hingga ke negeri Cina. Seorang ahli sejarah Muslim mencatat bahwa hubungan timbal balik antara orang Cina dan Arab paling awal terjadi pada abad ke-5.(5) Prof. Wan Hussein Azmi, guru besar Universitas Kebangsaan Malaysia, mengatakan sekitar abad VII, saudagar Arab hilir mudik berniaga di Jazirah Nusantara. Ia menegaskan Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad ke-1 Hijrah, langsung dari tanah Arab.(6) Barang-barang Indonesia seperti emas, lada, kapas, madu, rotan, serta kayu cendana, dibeli para pedagang Muslim untuk dijual di pasar Timur Tengah, Laut Tengah, dan Cina. Memang pada abad ke-15, jaringan perdagangan Asia, dengan Malaka sebagai pusat, merupakan kawasan perdagangan yang canggih dan luas.

Tapi Malaka tak cuma berperan sebagai sentra perdagangan Asia. Ia juga dianggap sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Dari sini kemudian Islam menyebar ke daerah utara, pantai timur hingga selatan Pulau Sumatera, terus ke pesisir utara Pulau Jawa dan Kalimantan. Maluku atau spice islands, dengan Ternate sebagai sentrum, baru menjadi bagian dalam jaringan perdagangan Malaka pada abad ke-15.(7) Cengkeh dan pala merupakan komoditas yang diincar para pedagang Jawa, Melayu, Arab, Cina, dan Persia untuk dijual di pasar Malaka, Jawa, atau dilego langsung ke pasar Timur Tengah dan Laut Tengah. Fenomena ini kemudian menimbulkan spekulasi para sejarawan bahwa Islam mulai masuk ke Ternate pada abad ke-15, saat kejayaan Malaka mencapai puncaknya. Antonio Galvao (1536-1539),(8) kapten benteng Portugis di Ternate, mencatat bahwa Ternate memeluk Islam yang disebarkan dari Malaka pada 1460, mengingat terdapat jalur perdagangan melalui utara, yaitu jalur Ternate-Sulawesi Utara-Sulu-Brunei-Malaka. Di sini Galvao memperoleh keterangan langsung dari masyarakat Ternate sendiri.

Rijali, pencatat peristiwa pada awal zaman Maluku yang hidup di Ambon pada awal abad ke-17, menyusun sebuah dokumen dalam bahasa Arab berdasarkan kisah-kisah tradisional. Pada mulanya (sekitar abad ke-13), demikian Rijali, Ternate dihuni orang-orang dari Jailolo (Halmahera Utara). Selama 250 tahun berikutnya, masih menurut Rijali, suku Molematiti di Ternate, dan dinasti dari 20 penguasa berikutnya, memimpin transformasi bertahap penduduk Ternate dari manusia kafir tak beradab menjadi pengikut Nabi Muhammad saw.(9) Kemajuan besar pertama terjadi pada masa kekuasaaan Raja Gapi Baguna (1432-1465), yang mengundang saudagar Cina, Arab, dan Jawa untuk menetap di Ternate dan memanfaatkan pengetahuan serta keterampilan mereka yang unggul. Ia lalu terpesona oleh seorang saudagar Muslim dari Jawa, Maulana Husein, yang kemudian membimbingnya bersama pejabat Istana lain, masuk Islam.(10) Menurut Cesar Adib Majul,(11) Islam masuk ke Ternate pada tahun 1478, yakni berbarengan dengan jatuhnya kerajaan Majapahit. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Islam dibawa para muballigh dari Jawa. Dari keterangan di atas terlihat ada perbedaan pendapat mengenai asal usul masuknya Islam ke Ternate. Galvao mengatakan, Islam yang masuk ke sana berasal dari Malaka. Sementara Rijali dan Cesar berpendapat dari Jawa. Namun periode masuknya kurang lebih sama, yaitu paro pertama abad VX.

Namun, Naidah dalam sejarah Ternate-nya menyatakan, kawasan ini telah masuk Islam sejak abad ke-13. Pembawanya adalah Ja’far Shodiq yang tiba di Ternate dari Jawa pada Senin, 6 Muharram 643 H/1250M. Ja’far Shadiq yang nasabnya dihubungkan dengan Imam Ali b. Abi Thalib, kawin dengan putri setempat bernama Nur Sifa. Sebelumnya, Ja’far Shadiq pernah kawin di Jawa dan memperoleh 10 anak. Dari perkawinan dengan Nur Sifa, ia memperoleh empat putra dan empat putri. Salah satu putranya, Mansur Malamo, di tetapkan sebagai raja pertama Ternate, setelah berhasil mempersatukan empat kelompok masyarakat Ternate yang suka berperang itu. Raja pertama ini memerintah sejak 1257-1277. Tiga putra lainnya berkuasa di pulau Tidore, Bacan, dan Jailolo.(12)

Laporan Naidah ini terbilang menarik lantaran ia mempresentasikan Ja’far Shadiq, Muharram, dan ‘Ali b. Ali Thalib, yang kesemuanya merupakan bagian dari wacana Syi’ah. Namun ini pun harus di pandang secara kritis berdasarkan kenyataan berikut. Pertama, laporannya tidak bersumber dari bahan tertulis atau didukung hipotesis yang logis. Kedua, ia bekerja sebagai pejabat istana Ternate yang, dengan sendirinya, menjaga kepentingan kerajaan. Sebagaimana diketahui, persaingan memperebutkan hegemoni di antara empat kerajaan Maluku itu melibatkan pula agama dan Ahl al Bait. Kedua unsur ini agaknya menjadi faktor legitimasi bagi kepemimpinan politik di Maluku, bahkan juga di kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara seperti Aceh, Jawa, dan Kalimantan. Dalam hal ini, klaim sebagai pihak yang lebih dulu masuk Islam serta faktor Ahl al Bait menjadi sumber legitimasi tersebut. Toh, Tidore, Bacan, dan Jailolo juga mengklaim sebagai pihak yang paling duluan masuk Islam serta menghadirkan tokoh keturunan Nabi Muhammad.

Dalam laporan lain, berdasarkan tradisi lisan setempat, pada abad VIII empat orang Syeikh dari Irak tiba di Maluku Utara. Mereka merupakan pemeluk Islam Syi’ah. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, di mana golongan Syi’ah dikejar-kejar penguasa Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah. Mereka terdiri dari Syaikh Mansur yang kemudian menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera muka, Syaikh Yakub yang mengislamkan Tidore dan Makian, serta Amin dan Yakub yang berdakwah di Halmahera Tengah.(13) Akan tetapi, isi laporan ini pun harus pula dicermati secara kritis, terutama lantaran sulit dibuktikan. Di puncak gunung Gamalama dan Gunung Kie Besi (Pulau Makian), memang terdapat kuburan-kuburan keramat yang dikatakan sebagai makam Mansur dan Yakub. Namun, bagaimana bisa dipastikan bahwa makam-makam tersebut milik kedua tokoh tersebut? Amin dan Umar, yang tak meninggalkan jejak apapun, disebut-sebut kembali ke Irak.

Adanya laporan berbeda ini memaksa kita untuk mendefinisikan pengertian masuknya Islam ke suatu daerah. Paling tidak, terdapat tiga pengertian sekaitan dengan masalah ini. Pertama, suatu daerah dikatakan telah masuk Islam bila di dalamnya terdapat satu atau lebih orang asing beragama Islam. Kedua, bila di daerah tersebut sudah terdapat satu atau lebih penduduk asli menganut Islam. Ketiga, bila Islam telah melembaga di daerah tersebut. Berdasarkan definisi ini, kita dapat merekonstruksi proses Islamisasi di Ternate ke dalam tiga periode. Periode awal berlangsung sejak pertengahan abad VIII, di mana orang Arab dan Persia Muslim Syi’ah membeli cengkeh dan pala di Maluku untuk dijual ke Eropa melalui pelabuhan Baghdad. Orang Muslim Perlak yang menganut Syi’ah pun sudah berperan dalam periode ini. Sebagai masyarakat sebuah kerajaan yang sedang berkembang, tentunya cengkeh dan pala menjadi komoditas yang dicari di pelabuhan Perlak, yang hingga abad ke-9 merupakan kerajaan Syi’ah. Masuknya mereka ke Maluku, setidaknya memberi pengaruh kepada penduduk setempat. Periode kedua dimulai sejak abad ke-12, di mana penyiaran Islam telah disampaikan ke kalangan penduduk. Yang ikut berperan dalam periode ini adalah orang Muslim Cina, selain Arab dan Persia. Ini ditandai dengan mulai digunakannya nama-nama Arab-Islam oleh para raja di Maluku Utara. Periode ketiga yang dimulai pada abad ke-15 berlangsung sejak penerimaan Islam oleh pihak elite kesultanan. Zaenal Abidin adalah Sultan ke-19 yang menukar agama jahiliyah dengan Islam.(14) Yang paling banyak memainkan peran penting dalam periode ini adalah para muballigh Jawa yang menganut faham Aswaja. Kedatangan orang Muslim Arab dan Persia berfaham Ahl al Bait ini berkaitan dengan terjadinya pergolakan sosial-politik di wilayah daulah Umayah dan kemudian daulah Abbasiyah.

Ini bukan sesuatu yang mustahil, sebab sejak awal Syi.ah telah masuk ke Nusantara. Sebuah monumen ditemukan di Champa, Vietnam, yang terdiri dari batu nisan yang dibuat tahun 1039 serta sebuah tiang batu dengan aksara Arab bertarikh 1025-1035. M.P. Ravaisse yang menyelidiki tulisan tersebut mengatakan bahwa tampaknya isi dokumen ini menunjukkan bahwa di tempatnya ditemukan, sejak abad XI terdapat sebuah masyarakat kota. Mereka lain dari penduduk asli. Paham keagamaan dan adat istiadatnya juga berbeda. Kakek moyang mereka mestinya tiba satu abad sebelumnya. Menurut Dr. S.Q.Fatimi, mereka adalah orang Arab Syi’ah.(15) Ini lebih jelas dikemukakan Wan Hussein Azmi.(16) Menurutnya, semenjak kerajaan Islam berdiri di Taj Jihan pada pertengahan abad ke VII, Islam makin berkembang di Sumatera Utara setelah saudagar Muslim Arab datang ke Nusantara. Di samping itu, dengan dibukanya negeri Persia oleh kaum Muslimin pada 650H, orang-orang Persia dengan penuh suka cita berduyun-duyun masuk Islam dan banyak darinya yang hijrah ke Nusantara. Di antara keluarga Persia yang berimigrasi ke Nusantara terdapat keluarga Javani, Lor, Sabankarah, dan Asyraf.

Di samping itu terdapat satu faktor utama yang menyebabkan saudagar Muslim Arab dan Persia bercokol di Sumatera Utara pada abad ke-7, yaitu terhalangnya jalur pelayaran yang mereka tempuh melalui Selat Malaka akibat disekat armada Budha Sriwijaya sebagai balasan serangan tentara Islam ke kerajaan Hindu di Sind, India, pada zaman pemerintahan Khalifah al-Hadi (775-785 M). Maka, terpaksa kapal-kapal Arab dan Persia menempuh pelayaran melalui Sumatera Utara terus ke pesisir barat Sumatera, kemudian masuk Selat Sunda melalui Singapura menuju Kanton, Cina.

Perlak sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman di abad VIII menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Dengan demikian, masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan Muslimin dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Dan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, yakni pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi’ah. Mereka menguasai Perlak hingga muncul pergolakan antara golongan Syi’ah dan Ahl Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) pada tahun 928 M.

Wan Hussein Azmi mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi’ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu’awiyah yang masih keturunan Ja’far b. Abi Thalib. Bin Mu’awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir b. Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak. Bisa jadi, ada di antara mereka yang kemudian meneruskan perjalanan ke Ternate. Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w’l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi.(17) Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas partai Syi’ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun b. Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali b. Abi Thalib, bernama Muhammad b. Ja’far Shadiq b. Muhammad Baqr b. Zaenal Abidin b. Husein b. Ali b. Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad b. Ja’far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Malah Makmun menganjurkan pengikut Syi’ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi’ah Arab, Persia, dan Hindi —termasuk Muhammab b. Ja’far Shadiq— segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi meurah (raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali b. Muhammad b. Ja’far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul ‘Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul ‘Azis Syah.

Yang Menarik dari kisah ini adalah munculnya nama Ali b. Muhammad b. Ja’far Shadiq. Mungkin tokoh inilah yang dikaitkan secara serampangan oleh Naidah dalam karyanya, berkaitan dengan proses pengislaman Ternate. Naidah hidup di abad ke-18, periode mana penulisan sejarah masuknya Islam ke Nusantara belum banyak ditulis orang. Atau jangan-jangan ia sengaja memanipulasi informasi dengan maksud menyaingi Perlak. Kesultanan Ternate sampai sekarang masih mempertahankan pendapat bahwa Ternate lebih dulu masuk Islam ketimbang negeri-negeri Islam di Aceh. Para sejarawan yang dikutip di atas mengatakan, Ali bin Muhammad b. Ja’far Shadiq kawin dengan putri Perlak, dan putranya kemudian menjadi raja Perlak pertama. Sementara Naidah dengan hanya menyebut nama Ja’far Shadiq mengatakan ia kawin dengan putri Ternate, Nur Sifa, dan putranya menjadi raja Ternate pertama.

Bisa jadi kiprah pengikut Ahl al-Bait di Ternate bukan hanya berlangsung pada periode awal —setelah mempertimbangkan laporan Naidah, tapi juga pada periode ke-2. Sedangkan pada periode ke-3, seiring kejatuhan kekuasaan Syaikh Perlak pada abad ke-10, jelas orang-orang Sunni-lah yang memainkan peran penting .


***


Bukti bahwa Syi’ah pernah berpengaruh kuat di Ternate dapat dilihat dari beberapa tradisi Islam yang bercorak Syi’ah. Di sini hanya disebutkan beberapa tradisi yang paling menonjol. Pertama, tradisi Asyura berupa ta’ziahdan bubur asyura. Ta’ziah adalah adegan dramatis massal yang mencerminkan seluruh episode kematian Imam Husein b. Ali b. Abi Thalib di Karbala, termasuk penyesalan dan kesiapan berkorban.(18) Di Ternate, ritus /ta’ziah/, disebut /badabus/, dilakukan secara demikian: Setelah narasi dilakukan di suatu rumah atau gedung, para hadirin lalu menghujamkan benda tajam semacam gardu ke dadanya secara berulang kali hingga mencapai kondisi ekstase. Ritus ini dilakukan pada 1 Muharram atau pada haul seseorang di hari ke-44. Orang Ternate memang tak melakukan ta’ziah selama sepuluh hari (1-10 Muharram), namun sepanjang sepuluh hari itu, yang dipandang sebagai hari musibah, orang Ternate dilarang melakukan berbagai hal yang mengandung risiko. Anak-anak misalnya, dilarang naik pohon atau memainkan permainan “berbahaya”. Mereka lebih dianjurkan berdiam di rumah. Seluruh keluarga lalu membuat bubur asyura yang akan dibagikan kepada tetangga dan kerabat dekat. Bubur asyura adalah bubur santan berisi berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam, kacang-kacangan, dan kentang. Pesan yang terkandung sebenarnya cukup jelas, bubur itu sendiri yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kemurnian hari asyura, sementara berbagai bumbu tersebut melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi pada hari itu.(19) Keduaritus lailatulkadarTiga hari sebelum lebaran Iedul Fitri, tiap malam rakyat membakar api unggun atau obor di depan rumah masing-masing. Tradisi ini jelas berasal dari Persia kuno. Dalam kitab -kitab Persia kuno mengenai Naw Ruz ( tahun baru), diceritakan bahwa perayaan api unggun merupakan adat masyarakat, khususnya pada malam tahun baru. Api unggun yang secara tradisional dinyalakan orang Iran pada hari Rabu di akhir tahun berasal dari kebiasaan purba. Orang Persia menghormati api karena diyakini dapat menjernihkan udara. Pada zaman Daulah Umayah khususnya, segala hal yang berkaitan dengan Naw Ruz dilarang. Tapi tradisi ini sanggup bertahan karena konon mendapat pembenaran dari Nabi Muhammad dan Imam Ali. Pada zaman Islam, Muslim Iran menyalakan lilin sebagai simbol penghormatan pada api dan meletakkan Al-Qur’anul Karim di antara Haft-Sin (tujuh jenis sajian dengan huruf ’s’ di meja) untuk menunjukkan penghormatan pada kitab suci tersebut.

Ketiga, orang Ternate akrab dengan khasanah kebudayaan Syi’ah. Ini bisa dilihat dengan populernya nama-nama yang berkaitan dengan keluarga Nabi dan Imam Ali, seperti Ibrahim, Qasim, Umi Kalsum (atau kalsum saja), Fatmah (Fatimah), Zainab, Ruqayah, Khadijah, Muhammad, Ali, Hasan, dan Husein. Juga kisah-kisah mengenai kekuatan supranatural Imam Ali. Misalnya, dikisahkan bahwa suatu hari minyak yang baru dibeli seorang anak tumpah di jalan berpasir. Ia menangis karena takut dimarahi orang tuanya. Kebetulan Imam Ali lewat. Beliau lalu mengambil pasir tempat tumpahnya minyak dan memerasnya. Hasilnya, seluruh minyak yang tertumpah itu bisa diperoleh kembali secara utuh. Jelas, ini merupakan tradisi Syi’ah.

Tradisi Syi’ah yang dikatakan di atas ternyata masih dipraktikkan sebagian masyarakat sampai sekarang. Namun sejak kerajaan di sana pada pertengahan abad ke-15 mulai menganut faham Aswaja, pengaruhnya berangsur-angsur pudar, malah popularitasnya makin redup sejak gerakan pembaruan Islam, terutama yang dipelopori gerakan Muhammadiyah dan Wahabisme, masuk ke Ternate pada abad ke-20 ini. Kalau tak ada gerakan kebangkitan kembali dan pelestarian segenap budaya Islam tersebut, nampaknya tradisi-tradisi semacam itu cepat atau lambat akan sirna seiring dengan perjalanan waktu.
posted by Mhyron Thapshec at 05.31

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home